PENTINGNYA MENGETAHUI FAROID

 

PENTINGNYA MENGETAHUI FAROID

Dalam tulisan kali ini al faqir akan membahas tentang keutamaan ilmu faroidh yang  diambil dari 2 sumber buku utama yaitu al mawarits fi syariah al islamiyyah fi dhaw i al kitab wa as sunnah karangan Syeikh Muhammad Ali As-Shobuni dan kitab nisfu al ilmi karangan Imam Besar Indonesia Habib Rizieq Syihab.

Dalam Al-Qur’an ada 6 ayat yang menjelaskan tentang faroidh yaitu 3 ayat menerangkan secara rinci dan 3 lainnya menerangkan secara global[1]. Tiga ayat yang menerangkan secara rinci terdapat dalam surat An-nisa : 11, 12, 176 dan ayat yang menerangkan secara global terdapat dalam surat An-nisa : 7, Al-Anfal : 75, Al-Ahzab : 6.

Imam Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya keenam ayat ini merupakan tiang dari segala tiang hukum islam, dan induk dari segala induk ayat Qur’an karena faroidh memiliki kedudukan yang agung sampai nabi Muhammad SAW mengungkapkan nisful ilmi sesuai dengan haditsnya :

تعلموا الفرائض وعلموه الناس فانه نصف العلم وهو ينسى وهو اول علم ينزع من امتي

Nabi Muhammad SAW bersabda : Pelajarilah kalian semua faroidh dan ajarkanlah kepada manusia, maka sesungguhnya ia adalah separuh ilmu dan ia dilupakan dan ilmu pertama yang akan hilang dari umatku (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah R.A).

Ilmu Faroidh dikatakan sebagai separuh ilmu karena ia memiliki 2 keadaan yaitu keadaan dengan kehidupan dan keadaan setelah kematian, keadaan dengan kehidupan berkaitan dengan sholat, zakat dsb sedangkan keadaan setelah kematian berkaitan dengan pembagian harta peninggalan, dan hanya dalam ilmu faroidh yang mengatur tentang pembagian harta peninggalan yang mengikutsertakan orang yang masih hidup dan yang wafat[2]. Di hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :

تعلموا القران وعلموه الناس، تعلموا الفرائض وعلموها الناس، فاني امرؤ مقبوض وان هذا العلم سيقبض وتظهر الفتان، حتى يختلف الاثنان في الفريضة فلا يجدان من يفصل بينهما

Nabi Muhammad SAW bersabda : Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan pelajarilah kalian semua faroidh dan ajarkanlah kepada manusia, maka sesungguhnya aku adalah manusia yang akan wafat, dan sesungguhnya ilmu ini akan di ambil kemudian akan timbul fitnah, sampai terjadi perselisihan di antara dua orang dalam urusan faroidh yang kemudian tidak ditemukan pelerai untuk keduanya.

Kemudian Imam Qurthubi juga berkata ketika ditetapkannya hal ini, maka ketahuilah faroidh menjadi pakaian ilmunya sahabat dan diskusi terbesarnya mereka akan tetapi manusia telah menghilangkannya.[3]

Hukum mempelajari ilmu Faraidh adalah fardhu kifayah yakni jika ada seorang yang mempelajarinya maka gugurlah kewajiban umat muslim lainnya. Sedangkan hukum mempraktekkannya adalah fardhu ain yakni wajib menggunakan ilmu faroidh bagi setiap individu yang mukallaf.

Pada awalnya dahulu waris dan mewarisi berdasarkan hijrah dan persaudaraan seagama, yakni pada saat itu kaum muslimin yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah (Kaum Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Kaum Anshar) dari mereka tidak memiliki ikatan kekerabatan yang kemudian Rasulullah SAW menjadikan mereka saudara dengan ikatan agama, dari sebab itu terjadi waris mewarisi diantara keduanya bukan disebabkan karena hubungan kekerabatan keluarga dan nasab namun karena persaudaraan ikatan agama. Hal ini terus berlangsung sampai Allah SWT menghapusnya dan menjadikan waris mewarisi dengan sebab nasab dan kekerabatan keluarga yaitu dengan diturunkannya dua ayat ini :

....... وَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ

….. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah (Q.S. Al Anfal : 75)

....... وَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ اِلَّآ اَنْ تَفْعَلُوْٓا اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕكُمْ مَّعْرُوْفًا ۗ كَانَ ذٰلِكَ فِى الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا

….. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah). (Q.S. Al-Ahzab : 6)

Banyak sebagian kaum muslimin yang bertanya mengapa jatah laki-laki lebih banyak dari wanita yaitu dua banding satu ? karena syariat Islam telah membedakan diantara keduanya dalam warisan tentu memiliki hikmah yang banyak, diantara hikmah-hikmahnya ialah :

1.      Seorang wanita kebutuhan sandang,pangan dan papannya tercukupi yaitu wajib memberikan nafkah padanya terhadap anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, suami dan selainnya dari kerabat yang terdekat dengannya.

2.      Seorang wanita tidak diwajibkan memberikan nafkah kepada seorang pun, berbeda dengan seorang laki-laki yang diberikan tanggung jawab untuk menafkahi keluarga, kerabat dan orang-orang yang wajib diberikan nafkah olehnya

3.      Nafkah laki-laki lebih banyak, kewajiban finansialnya lebih rumit sehingga kebutuhannya terhadap harta jauh lebih besar ketimbang wanita

4.      Laki-laki memberikan mahar kepada wanita, dan diberikan tanggung jawab untuk memberikan nafkah tempat tinggal, pakaian, dan makanan terhadap istrinya dan anaknya

5.      Sebagai pembelajaran kepada anak-anak, serta segala pengobatan dan perawatan bagi anak dan istri merupakan tanggung jawab laki-laki bukanlah seorang wanita.

Lima macam hikmah ini menjelaskan bahwa wanita lebih banyak mendapatkan keuntungan dari laki-laki karena mereka diikutsertakan dalam warisan tanpa disertai dengan embel-embel. Mereka hanya menerima tanpa ada kewajiban memberi, mereka hanya menabung tanpa harus memberi nafkah, mereka hanya memperoleh tanpa harus mendenda. Wanita juga tidak diwajibkan memberikan nafkah kepada dirinya dan anak-anaknya sekalipun dirinya orang yang kaya selama masih ada suaminya[4]. Karena itu semua menjadi tanggung jawab sang suami sesuai firman Allah SWT :

وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah : 233)



[1] Rizieq Syihab. Nisfu al Ilmi. 2006. Pesantren Alam & Agrokultural. Hal 4

[2] Muhammad bin Ali Ar-Rahbi. Ar Rahbiyah. Dar al Qalam. Hal 34

[3] Ali As Shobuni. Al mawarits fi syariah al islamiyyah fi dhaw i al kitab wa as sunnah. Dar al Qalam. Hal 15-16

[4] Ali As Shobuni. Al mawarits fi syariah al islamiyyah fi dhaw i al kitab wa as sunnah. Dar al Qalam. Hal 18-19

Comments

Popular posts from this blog

INSOMNIA/ SULIT TIDUR