BAHAYA FAHAM PLURALISME AGAMA
Pluralisme agama adalah pemikiran tentang kemajemukan agama yang salah satu isi pemikirannya adalah pengakuan bahwa kebenaran adalah milik semua agama. Dengan kata lain, kebenaran tidak hanya milik satu agama saja tapi pada agama lain juga
terdapat kebenaran atau setiap agama tidak boleh mengklaim kebenaran terhadap agamanya.
Faham ini sangat membahayakan bagi kita semua. Karena, salah satu akibat adanya pemahaman ini, bisa menghilangkan batas-batas identitas keagamaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam Islam, misalnya, term kafir merupakan sebuah pembeda yang jelas antara orang-orang yang meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah S.W.T serta Muhammad S.A.W sebagai rasulnya, dengan orang-orang yang tidak meyakininya. Misalkan saja kata kafir dinafikan walaupun dalam konteks warga negara yang dulu pernah diusulkan oleh beberapa tokoh. Ini akan memberikan implikasi yang negatif terhadap keyakinan yang sudah tertanam. Lantas, jika tak ada lagi kata kafir maka istilah iman tidak ada nilai. Lalu, jika kedua istilah (kafir dan iman) ini lenyap, maka tidak terlalu penting menjadi untuk taat kepada Allah, serta syari’ah menjadi tidak penting untuk ditegakkan, karena tidak ada pembeda antara muslim dan kafir semuanya dipandang sama (pluralisme agama).
Padahal, sebagai muslim harusnya memiliki cara pandang
yang di dalam konteks apapun keyakinannya harus tetap. Keyakinan tidak dipengaruhi oleh konteks, konteks teologis-etis maupun konteks sosial-politis. Seseorang muslim dalam hatinya tetap meyakini dan memandang non-muslim itu kafir walau dalam bernegara. Sama halnya Khatolik yang berkeyakinan “tidak ada keselamatan di luar Gereja”. Protestan yang berkeyakinan bahwa “tidak ada keselamatan di luar Kristen”. ataupun Yahudi yang menganggapap golongan mereka adalah umat pilihan yang berarti selain itu tidak selamat. Hal ini menunjukkan, selain Islam yang memiliki keyakinan yang tidak boleh direkonstruksi ataupun redefinisi ulang. Agama lain pun mestinya memiliki keyakinan yang tetap tak berubah.
Bila kita lihat secara seksama, sekilas keputusan ini
bertujuan untuk menawarkan toleransi atau menghilangkan konflik antar agama. Namun pada sisi lain telah memberikan efek pada hilangnya perbedaan atau identitas yang dimiliki agama-agama. Sebab, toleransi antar umat beragama yang
dimaksud lebih dimaknai kepada menghilangkan atau merelatifkan kebenaran agama sendiri untuk menghargai agama lain.
Dan jika kita menelaah arti kata toleransi adalah merupakan serapan dari bahasa Inggris tolerance, sedangkan dalam kamus KBBI berarti “sikap dan sifat dalam menanggapi berbagai perbedaan yang ada dengan cara
menghargai, membiarkan, memperbolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Namun bila kita melihat kata ini, kita harus memahaminya dan merujuk pada kata aslinya yaitu tolerance. Di dalam kamus Oxford “tolerance” masih memiliki pengertian yang senada dengan apa yang diartikan oleh KBBI. Namun yang
menarik, pengertian toleransi dalam kamus Webster’s memberikan tambahan penjelasan yang merupakan nilai pokok yang mendasari pemaknaan tolerance, terjemah bebasnya: “bebas dari kefanatikan atau prasangka tentang kebenaran ras maupun agama”. Sehingga kami berkesimpulan Tolerance dalam presfektif Barat merupakan hal yang mengandung unsur kebebasan dari kebenaran, kebenaran ras ataupun kebenaran agama. Dengan kata lain toleransi memiliki pengertian yang menghilangkan kefanatikan akan kebenaran yang dimiliki oleh ras ataupun agama.
Maka demikian, toleransi bersifat lebih mementingkan aspek sosial dan mengesampingkan aspek kebenaran yang ada pada agama. Sebagai contoh lain, salam semua agama dipakai untuk pembuka dalam sebuah pidato, dengan landasan motivasi untuk meningkatkan kerukunan hidup. Padahal salam dari setiap agama mengandung makna yang erat kaitannya dengan keyakinan masing-masing. Menghilangkan atau merelatifkan kebenaran agama sendiri ini kemudian berujung menjadi paham pluralisme agama.
Oleh karenanya, doktrin utama pluralisme agama menganut relativisme. Relativisme secara etimologis berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif, bukan absolut. Penggagas utama paham ini adalah protagoras, pyrrho dan pengikut-pengikutnya. Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaa Utama, 2005), 949. Adapun secara terminologi, makna relativisme adalah pandangan bahwa kebenaran itu tergantung pada waktu dan tempat, serta pikiran dan pandangan orang yang mengamati; sehingga tidak ada kebenaran mutlak. Lihat: Achmad Maulana, et al., Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2008), 449. Relativisme itu sendiri pada awalnya berangkat dari kebencian Barat terhadap agama. Yaitu kebencian terhadap sesuatu yang mengikat dan mutlak. Sehingga ia adalah doktrin tentang nilai untuk menggugat sebuah agama, yang memprogramkan penggusuran terhadap pengangguran otoritas, dengan cara mereduksi nilai absolut yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Lihat: Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; gerakan bersama missionaris dan kolonialis, (Ponorogo: CIOS ISID Gontor, 2010), 92
Oleh karenanya, pluralisme agama tidak akan sejalan antar agama karena di setiap agama memiliki claim bahwa agamanya lah yang paling benar diantaranya dalam 3 agama besar yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Sebagai contoh dalam agama Yahudi/Yudaisme tertanam sebuah keyakinan bahwa mereka merupakan “bangsa pilihan” atau “umat pilihan” (The chosen people). Chosen people merupakan keyakinan bahwa merekalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan dalam rangka memenuhi tugas menyebarkan kebenaran-Nya kepada seluruh bangsa yang berarti juga menafikan kemungkinan orang atau bangsa lain memiliki keselamatan. Lihat Anggun Gunawan, Messianik Yahudi: Juru Selamat Yahudi dalam Telaah Psikoanalisa Erich Fromm, (Gre Publishing: Magelang, 2010), 16. Selain itu, doktrin bangsa pilihan ini mereka rasakan sebagai sebuah keutamaan dan kemuliaan yang menunjukkan bahwa derajat mereka tinggi di sisi Allah dari atas bangsa-bangsa lain, hal ini tergambar dalam Talmud. Talmud merupakan hukum Yahudi tentang kehidupan, baik keagamaan maupun di luar keagamaan. Selama berabad-abad dalam perjalanannya Talmud mempunyai pengaruh yang sangat luas sehingga orang-orang Yahudi hidup berdasarkan buku itu. Doktrin-doktrin Yahudi bersumber dari Talmud yang walaupun datangnya setelah Taurat, akan tetapi, kedudukannya dipandang lebih suci dari Taurat. Hal ini menunjukkan bahwa Yahudi telah dibangun di atas asas-asas para Rabbi-bukan berdasarkan Wahyu. Lihat: Joseph Barclay, Hebrew Literature (New York: The Colonial Press, 1901), 14 Sanhedrin, 58.b: Rabbi hanina menjelaskan: “Barang siapa yang memukul orang Israel, maka berarti ia telah menghinakan Tuhan yang agung”. Sehingga berangkat dari konsep umat pilihan ini, bangsa Yahudi merasa lebih superior dibanding bangsa-bangsa lain selain penganut Yudaisme bangsa. Bahkan, menurut mereka keagungan dan ketinggian mereka ini nyaris menyamai keagungan dan ketinggian tuhan.
Dan menurut kepercayaan mereka, bangsa-bangsa lain selain Yahudi wajib untuk dijauhi karena mereka adalah bangsa najis (Orach Chaim 57, 6a) dan (Talmud: Baba Mezia 114b). Adapun untuk bangsa-bangsa lain di luar agama Yahudi, disebut sebagai, “goyeem/goim” atau “orang-orang asing”. Nama lainnya yang serupa dengan nama ini adalah Goiah. Sudah menjadi rahasia umum bagi orang-orang Yahudi, mereka sering menggunakan kata Goi dengan sengaja dan enggan menggunakan kata lain untuk menyebut orang non-Yahudi. Akan tetapi dalam beberapa majalah seperti dalam majalah Israelita, No.48.1891., mereka mengatakan, “sebutan ini tidak memiliki arti yang jelek dan tendensi yang merendahkan” padahal dalam berbagai kitab Yahudi yang ditulis dalam bahasa Ibrani justru menunjukkan hal sebaliknya. Misalnya, dalam Choschen Hammischpat (34,22) kata Goim bermakna penghianat (traitors), dan apikoris (Epicureans) yang artinya orang yang tenggelam dalam berbagai kelezatan duniawi, murtad dan lain-lain.
Selain menggunakan istilah “goim/goyeem” untuk sebutan orang non-Yahudi, ada juga beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang-orang non-Yahudi. Seperti istilah “abhodah Zarah” (Strange Worship), artinya “agama aneh” atau “agama paganis” sebutan terhadap para penyembah berhala, istilah “akum” merupakan singkatan dari “obhde Kokha Bkim U Mazzaloth”, sebutan bagi para penyembah bintang dan planet (Worshippers of Stars and planet) terdapat pada Orasch Chaim (113,8), istilah “minim”
(Heretics), artinya adalah Ahli Bid’ah, karena Talmud (Chabbat: 116a) menilai orang-orang yang mengimani Injil sebagai “ahli bid’ah”, istilah “edom” (Edomites) sebutan
bagi mereka yang mengimani lambing salib, sebutan “norkhim”, artinya orang orang asing (termasuk orang kristen); istilah “Amme Harets”, artinya penduduk
alam kehidupan yang fana atau orang-orang dungu, merupakan sebutan bagi orang-orang primitif (Franz Delitzsh, Schachmatt den Blutluhnern, 1883, Hal.
41), istilah “Basar Vedam”, artinya daging dan darah (Flesh and Blood) maksudnya; orang-orang Kristen adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Roh, istilah “Apikorosim” (Epicureans), artinya orang yang tenggelam dalam berbagai
kelezatan duniawi, murtad, dll, dan istilah “Kuthim” (Samaritans), yang artinya sebutan bagi orang-orang Sumeria yang para penyembah Dewa. Inilah beberapa istilah/nama dan julukan untuk menyebut orang-orang selain Yahudi.
Sedangkan untuk agama Kristen memiliki doktrin utama yaitu, penyaliban Isa al-Masih sebagai penghapus dosa umat manusia (1 Tim 2: 4-6/Kisah 4:12). Yang artinya, makna kematian Yesus adalah untuk keselamatan bagi umat yang mempercayainya. dengan kata lain, bagi Iman Kristen setiap orang yang percaya kepada Yesus maka memiliki jaminan untuk selamat. sehingga doktrin ini berkembang, agama Kristen mencoba menciptakan jargon baru yang dikenal dalam katolik dengan “tidak ada keselamatan di luar Gereja” (extra ecclesiam nulla salus) dan dalam protestan dengan “tidak ada keselamatan di luar agama kristen” (outside Cristianity, no salvation).
sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? (5) Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, 15:6 dan setibanya di rumah ia memanggil sahabatsahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. 15:7 Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh
Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.
Pemungut cukai adalah orang yang mengambil uang dari para petani dan membawa barang keluar atau masuk ke satu kota mereka yang dan memeras terhadap bangsanya sendiri, sedangkan “orang yang berdosa” adalah orang-orang yang tidak taat dan tidak peduli pada undang-undang yang ada pada saat itu atau menunjukkan segolongan orang-orang tertentu yang mereka anggap tidak layak di hadirat Allah. Sehingga al-Kitab memberikan mereka perumpamaan bahwa orang yang berdosa itu seperti “satu domba dari seratus yang tersesat dan hilang, lalu Yesus mencari yang hilang tersebut sampai ia menemukannya dan bila ia menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira.
Alkitab juga memberikan perumpamaan
kepada yang tidak sejalan dengan iman kristiani dengan perumpamaan “dirham yang
hilang”. Perumpamaan ini tertulis dalam Injil Lukas 15: 8-10 (perumpamaan tentang dirham yang hilang) yang berbunyi: “15:8 Atau perempuan manakah yang
mempunyai sepuluh dirham, dan jika ia kehilangan satu di antaranya, tidak menyalakan pelita dan menyapu rumah serta mencarinya dengan cermat sampai ia menemukannya? 15:9 Dan kalau ia telah menemukannya, ia memanggil
sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dirhamku yang hilang itu telah kutemukan. 15:10
Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.
Selain itu, al-kitab juga memberikan perumpamaan kepada orang-orang yang bukan dari golongan Kristen dengan perumpamaan “Anak yang hilang”. Hal ini tertulis dalam Alkitab (Injil) Lukas pasal 15 ayat 13 yang berbunyi: “Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.” Yang mana bercerita tentang “perumpamaan anak yang hilang” pada Lukas 15: 11-32.
Injil Lukas 15:11-32 (Alkitab Terjemah Baru), Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang: 15:11, Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. 15:12, Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. 15:13, Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 15:14, Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. 15:15, Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 15:16, Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. 15:17, Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 15:18, Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, 15:19, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. 15:20, Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. 15:21, Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. 15:22, Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. 15:23, Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. 15:24, Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. 15:25, Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 1526, Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. 15:27, Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. 15:28, Maka marahl anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. 15:29, Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. 15:30, Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. 15:31, Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. 15:32, Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.
(1) Kufur Takdzīb yakni tidak membenarkan atau membohongi apa-apa yang didatangkan
(diajarkan) oleh Rasul secara zahir atau bātin, maka pelaku disebut kafir (Al-‘Ankabūt: 68);
(2) Kufur al-Iba & al-Istikbār yakni, mengakui kebenaran tetapi tidak tunduk pada kebenaran
tersebut, seperti kekufuran yang dilakukan oleh iblis (Al-Baqarah:34);
(3) Kufur al-syāk (Ragu) dan zan (prasangka) yakni kekufuran karena ragu akan kebenaran
Rasul (Al-Kahfi 35-38);
(4) Kufur al-i’rād atau (menentang/berpaling) yakni, berpaling atau menolak secara
totalitas dari ajaran-ajaran Islam (tidak mempercayainya) yang diajarkan oleh
Rasul SAW (QS. Al-Ahqāf: 3); Dan yang
terakhir
(5) Kufur al-Nifāq yaitu, memperlihakan keislaman hanya sebatas dalam perkataan, tidak
dalam hati dan tingkah lakunya, bahkan dalam hatinya menentang (QS. Al- Munāfiqūn: 3). Sehingga segala
bentuk kekufuran-kekufuran di atas dapat mengakibatkan pelakunya dianggap
keluar dari Islam.
"Terimakasih Semoga Bermanfaat"
Mantap artikelnya banyak manfaat nya
ReplyDeleteMakasih pencerahannya...
ReplyDelete